Daftar Blog Saya

Sabtu, 09 April 2011

expose





 photooooo

struktur atom

Struktur atom merupakan satuan dasar materi yang terdiri dari inti atom beserta awan elektron bermuatan negatif yang mengelilinginya.[1] Inti atom mengandung campuran proton yang bermuatan positif dan neutron yang bermuatan netral (terkecuali pada Hidrogen-1 yang tidak memiliki neutron). Elektron-elektron pada sebuah atom terikat pada inti atom oleh gaya elektromagnetik. Demikian pula sekumpulan atom dapat berikatan satu sama lainnya membentuk sebuah molekul. Atom yang mengandung jumlah proton dan elektron yang sama bersifat netral, sedangkan yang mengandung jumlah proton dan elektron yang berbeda bersifat positif atau negatif dan merupakan ion. Atom dikelompokkan berdasarkan jumlah proton dan neutron pada inti atom tersebut. Jumlah proton pada atom menentukan unsur kimia atom tersebut, dan jumlah neutron menentukan isotop unsur tersebut.
Istilah atom berasal dari Bahasa Yunani, yang berarti tidak dapat dipotong ataupun sesuatu yang tidak dapat dibagi-bagi lagi. Konsep atom sebagai komponen yang tak dapat dibagi-bagi lagi pertama kali diajukan oleh para filsuf India dan Yunani. Pada abad ke-17 dan ke-18, para kimiawan meletakkan dasar-dasar pemikiran ini dengan menunjukkan bahwa zat-zat tertentu tidak dapat dibagi-bagi lebih jauh lagi menggunakan metode-metode kimia. Selama akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, para fisikawan berhasil menemukan struktur dan komponen-komponen subatom di dalam atom, membuktikan bahwa 'atom' tidaklah tak dapat dibagi-bagi lagi.[2] Prinsip-prinsip mekanika kuantum yang digunakan para fisikawan kemudian berhasil memodelkan atom. [3]
Relatif terhadap pengamatan sehari-hari, atom merupakan objek yang sangat kecil dengan massa yang sama kecilnya pula. Atom hanya dapat dipantau menggunakan peralatan khusus seperti mikroskop penerowongan payaran. Lebih dari 99,9% massa atom berpusat pada inti atom, dengan proton dan neutron yang bermassa hampir sama. Setiap unsur paling tidak memiliki satu isotop dengan inti yang tidak stabil yang dapat mengalami peluruhan radioaktif. Hal ini dapat mengakibatkan transmutasi yang mengubah jumlah proton dan neutron pada inti. Elektron yang terikat pada atom mengandung sejumlah aras energi, ataupun orbital, yang stabil dan dapat mengalami transisi di antara aras tersebut dengan menyerap ataupun memancarkan foton yang sesuai dengan perbedaan energi antara aras. Elektron pada atom menentukan sifat-sifat kimiawi sebuah unsur dan memengaruhi sifat-sifat magnetis atom tersebut



Perkembangan Model Atom

Seorang filsuf Yunani yang bernama Democritus berpendapat bahwa jika suatu benda dibelah terus menerus, maka pada saat tertentu akan didapat akan didapat bagian yang tidak dapat dibelah lagi. Bagian seperti ini oleh Democritus disebut atom.[5] Istilah atom berasal dari bahasa yunani “a” yang artinya tidak, sedangkan “tomos” yang artinya dibagi. Jadi, atom artinya tidak dapat dibagi lagi. Pengertian ini kemudian disempurnakan menjadi, atom adalah bagian terkecil dari suatu unsur yang tidak dapat dibelah lagi namun namun masih memiliki sifat kimia dan sifat fisika benda asalnya.
Atom dilambangkan dengan ZXA , dimana A = nomor massa (menunjukkan massa atom, merupakan jumlah proton dan neutron), Z = nomor atom (menunjukkan jumlah elektron atau proton). Proton bermuatan positif, neutron tidak bermuatan (netral), dan elektron bermuatan negatif. Massa proton = massa neutron = 1.800 kali massa elektron. .Atom-atom yang memiliki nomor atom sama dan nomor massa berbeda disebut isotop, atom-atom yang memiliki nomor massa sama dan nomor atom berbeda dinamakan isobar, atom-atom yang memiliiki jumlah neutron yang sama dinamakan isoton. [6]



Macam-macam Model Atom


1. Model Atom John Dalton

Pada tahun 1808, John Dalton adalah seorang guru di Inggris yang melakukan perenungan tentang atom. Hasil perenungan Dalton menyempurnakan teori atom Democritus. Bayangan Dalton dan Democritus adalah bahwa benda itu berbentuk pejal. [7]. Dalam perenungannya Dalton mengemukakan postulatnya tentang atom.
a. Setiap unsur terdiri dari partikel yang sangat keci yang dinamakan dengan atom
b. Atom dari unsur yang sama memiliiki sifat yang sama
c. Atom dari unsur berbeda memiliki sifat yang berbeda pula
d. Atom dari suatu unsur tidak dapat diubah menjadi atom unsur lain dengan reaksi kimia, atom tidak dapat dimusnahkan dan atom juga tidak dapat dihancurkan
e. Atom-atom dapat bergabung membentuk gabungan atom yang disebut molekul
f. Dalam senyawa, perbandingan massa masing-masing unsur adalah tetap

Kelebihan model atom Dalton:
Mulai membangkitkan minat terhadap penelitian mengenai model atom.

Kelemahan model atom John Dalton :
Teori atom Dalton tidak dapat menerangkan suatu larutan dapat menghantarkan arus listrik. Bagaimana mungkin bola pejal dapat menghantarkan arus listrik? padahal listrik adalah elektron yang bergerak. Berarti ada partikel lain yang dapat menghantarkan arus listrik. [8]

[sunting] 2. Model Atom J.J. Thomson

Pada tahun 1897, J.J Thomson mengamati elektron.[9] Dia menemukan bahwa semua atom berisi elektron yang bermuatan negatif.[10] Dikarenakan atom bermuatan netral, maka setiap atom harus berisikan partikel bermuatan positif agar dapat menyeimbangkan muatan negatif dari elektron.[11]

Kelebihan model atom Thomson
Membuktikan adanya partikel lain yang bermuatan negatif dalam atom. Berarti atom bukan merupakan bagian terkecil dari suatu unsur.

Kelemahan model atom Thomson
Model Thomson ini tidak dapat menjelaskan susunan muatan positif dan negatif dalam bola atom tersebut.



3. Model Atom Rutherford

Rutherford melakukan penelitian tentang hamburan sinar α pada lempeng emas. Hasil pengamatan tersebut dikembangkan dalam hipotesis model atom Rutherford.
a. Sebagian besar dari atom merupakan permukaan kosong.
b. Atom memiliki inti atom bermuatan positif yang merupakan pusat massa atom.
c. Elektron bergerak mengelilingi inti dengan kecepatan yanga sangat tinggi.
d. Sebagian besar partikel α lewat tanpa mengalami pembelokkan/hambatan. Sebagian kecil dibelokkan, dan sedikit sekali yang dipantulkan.

Kelemahan Model Atom Rutherford
a. Menurut hukum fisika klasik, elektron yang bergerak mengelilingi inti memancarkan energi dalam bentuk gelombang elektromagnetik. Akibatnya, lama-kelamaan elektron itu akan kehabisan energi dan akhirnya menempel pada inti.
b. Model atom rutherford ini belum mampu menjelaskan dimana letak elektron dan cara rotasinya terhadap ini atom.
c. Elektron memancarkan energi ketika bergerak, sehingga energi atom menjadi tidak stabil.
d. Tidak dapat menjelaskan spektrum garis pada atom hidrogen (H).

[sunting] 4. Model Atom Niels Bohr

Model Atom Neils Bohr

Pada tahun 1913, Niels Bohr mengemukakan pendapatnya bahwa elektron bergerak mengelilingi inti atom pada lintasan-lintasan tertentu yang disebut kulit atom. [12] Model atom Bohr merupakan penyempurnaan dari model atom Rutherford.

Kelemahan teori atom Rutherford diperbaiki oleh Neils Bohr dengan postulat bohr :
a. Elektron-elektron yang mengelilingi inti mempunyai lintasan dan energi tertentu.
b. Dalam orbital tertentu, energi elektron adalah tetap. Elektron akan menyerap energi jika berpindah ke orbit yang lebih luar dan akan membebaskan energi jika berpindah ke orbit yang lebih dalam
Kelebihan model atom Bohr
atom terdiri dari beberapa kulit untuk tempat berpindahnya elektron.

Kelemahan model atom Bohr
a. tidak dapat menjelaskan efek Zeeman dan efek Strack.
b. Tidak dapat menerangkan kejadian-kejadian dalam ikatan kimia dengan baik, pengaruh medan magnet terhadap atom-atom, dan spektrum atom yang berelektron lebih banyak.

Senin, 04 April 2011

aku bukan apa apa







Maafkan aku cinta
Ku telah menyakitimu
Mengertilah itu bukan mau ku

Sayang aku tetap berharap padamu
Walau kini kau bukan milikku
Ku bukan milikmu

Lagi.. engkau yang s'lalu ada di hati
Tanpamu aku bukan apa apa o..oh..
Lagi.. engkau yang s'lalu ada di hati
Tanpamu aku bukan apa apa o..oh..

Maafkan aku cinta
Ku telah menyakitimu
lyricsalls.blogspot.com
Mengertilah itu bukan mau ku

Sayang aku tetap berharap padamu
Walau kini kau bukan milikku
Ku bukan milikmu

Lagi.. engkau yang s'lalu ada di hati
Tanpamu aku bukan apa apa o..oh..
Lagi.. engkau yang s'lalu ada di hati
Tanpamu aku bukan apa apa o..oh..

Lagi.. engkau yang s'lalu ada di hati
Tanpamu aku bukan apa apa o..oh..
Dan bila ku harus tetap menunggumu
Tanpamu aku bukan apa apa di sini o..oh..

Related Post:

Jumat, 04 Maret 2011

disaat aku mencintaimu

mengapa kau pergi, mengapa kau pergi
di saat aku mulai mencintaimu
berharap engkau jadi kekasih hatiku
malah kau pergi jauh dari hidupku
*courtesy of LirikLaguIndonesia.net
menyendiri lagi, menyendiri lagi
di saat kau tinggalkan diriku pergi
tak pernah ada yang menghiasi hariku
di saat aku terbangun dari tidurku

reff:
aku inginkan dirimu datang dan temui aku
kan ku katakan padamu aku sangat mencintai dirimu
aku inginkan dirimu datang dan temui aku
kan ku katakan padamu aku sangat mencinta

menyendiri lagi, menyendiri lagi
di saat kau tinggalkan diriku pergi
tak pernah ada yang menghiasi hariku
di saat aku terbangun dari tidurku

repeat reff

semoga engkau kan mengerti tentang perasaan ini
maaf ku telah terbuai akan indahnya cinta (indahnya cinta)
maaf sungguh ku tak bisa (tak bisa) untuk kembali padamu
maaf ku telah terbuai akan indahnya cinta

repeat reff

aku inginkan dirimu datang dan temui aku
kan ku katakan padamu aku sangat mencinta

Minggu, 23 Januari 2011

suku Aceh


Suku Aceh
Dari AcehPedia
  1. Suku Aceh dengan bahasa Aceh, yaitu penduduk yang umumnya mendiami wilayah Kota Sabang, Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Aceh Timur, Kota Langsa, Kabupaten Aceh Barat, Kabupaten Nagan Raya, Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten Aceh Selatan, Kabupaten Pidie, Kabupaten Pidie Jaya, Kabupaten Aceh Utara dan Kabupaten Bireuen.
  2. Suku Aneuk Jamee dengan bahasa Aneuk Jamee yang terdengar seperti bahasa Minang, yaitu penduduk dari sebagian wilayah Kabupaten Aceh Selatan, yaitu sebagian Kecamatan Labuhan Haji, Kecamatan Samadua, Kecamatan Tapaktuan dan Kecamatan Kluet Utara, sebagian wilayah Kabupaten Aceh Barat Daya, yaitu sebagian Kecamatan Susoh dan Kecamatan Manggeng, sebagian kecil wilayah Kabupaten Aceh Barat, yaitu Kecamatan Meureubo, Sebagian Kecil wilayah Kabupaten Aceh Singkil, Kota Subulussalam dan Kabupaten Simeulue
  3. Suku Kluet, yang mendiami sebagian kecil dari Kabupaten Aceh Selatan, yaitu Kluet Utara, Kluet Selatan, Kluet Tengah dan Kecamatan Kluet Timur.
  4. Suku Tamiang dengan bahasa Aceh Tamiang yang hampir seperti bahasa Melayu, yaitu bahasa dari penduduk di Kabupaten Aceh Tamiang, Kabupaten Aceh Timur, dan Kota Langsa.
  5. Suku Gayo, dengan bahasa Gayo dari penduduk Kabupaten Gayo Lues, Kabupaten Aceh Tengah (Takengon), dan Kabupaten Bener Meriah.
  6. Suku Alas, yaitu bahasa Alas dari penduduk Kabupaten Aceh Tenggara.
  7. Suku Haloban, dari penduduk Kabupaten Aceh Singkil Kepulauan (Pulau Banyak).
  8. Suku Julu termasuk kelompok suku pak pak boang, yaitu penduduk dari Aceh Singkil daratan dan Kota Subulussalam. Suku pak pak boang berasal dari Sumatra Utara.
  9. Suku Devayan, yaitu penduduk yang mendiami Pulau Simeulue di Kecamatan Teupah Barat, Teupah Selatan, Simeulue Timur, Simeulue Tengah dan Salang.
  10. Suku Sigulai, yaitu penduduk yang mendiami Pulau Simeulue bagian utara, yaitu kecamatan Simeulue Barat, Kecamatan Alafan, dan juga mendiami sebagian desa di Kecamatan Salang, Kecamatan Teluk Dalam, dan juga Kecamatan Simeulue Tengah.
Suku Aceh adalah nama sebuah suku yang mendiami ujung utara. Mereka beragama. Bahasa yang dipertuturkan oleh mereka adalah yang masih berkerabat dengan bahasa Mon Khmer (wilayah Champa). Bahasa Aceh merupakan bagian dari bahasa Melayu-Polynesia barat, cabang dari keluarga bahasa Austronesia.
Suku Aceh memiliki sejarah panjang tentang kegemilangan sebuah kerajaan Islam hingga perjuangan atas penaklukan kolonial.
Banyak dari budaya Aceh yang menyerap budaya Hindu India, dimana kosakata bahasa Aceh banyak yang berbahasa. Suku Aceh merupakan suku di Indonesia yang pertama memeluk agama Islam dan mendirikan kerajaan Islam. Masyarakat Aceh mayoritas bekerja sebagai petani, pekerja tambang, dan nelayan.

Sejarah

Penduduk Aceh merupakan keturunan berbagai suku, kaum, dan bangsa. Leluhur orang Aceh berasal dari Semenanjung Malaysia, Cham, Cochin, Kamboja.
Di samping itu banyak pula keturunan bangsa asing di tanah Aceh, bangsa Arab dan India dikenal erat hubungannya pasca penyebaran agama Islam di tanah Aceh. Bangsa Arab yang datang ke Aceh banyak yang berasal dari provinsi Hadramaut (Negeri Yaman), dibuktikan dengan marga-marga mereka al-Aydrus, al-Habsyi, al-Attas, al-Kathiri, Badjubier, Sungkar, Bawazier dan lain lain, yang semuanya merupakan marga marga bangsa Arab asal Yaman. Mereka datang sebagai ulama dan berdagang. Saat ini banyak dari mereka yang sudah kawin campur dengan penduduk asli Aceh, dan menghilangkan nama marganya.
Sedangkan bangsa India kebanyakan dari dan. Dapat dibuktikan dengan penampilan wajah bangsa Aceh, serta variasi makanan (kari), dan juga warisan kebudayaan Hindu Tua (nama-nama desa yang diambil dari bahasa Hindi, contoh: Indra Puri). Keturunan India dapat ditemukan tersebar di seluruh Aceh. Karena letak geografis yang berdekatan maka keturunan India cukup dominan di Aceh.
Pedagang pedagang Tiongkok juga pernah memiliki hubungan yang erat dengan bangsa Aceh, dibuktikan dengan kedatangan Laksamana Cheng Ho, yang pernah singgah dan menghadiahi Aceh dengan sebuah lonceng besar, yang sekarang dikenal dengan nama Lonceng Cakra Donya, tersimpan di Banda Aceh. Semenjak saat itu hubungan dagang antara Aceh dan Tiongkok cukup mesra, dan pelaut-pelaut Tiongkok pun menjadikan Aceh sebagai pelabuhan transit utama sebelum melanjutkan pelayarannya ke Eropa.
Selain itu juga banyak keturunan bangsa Persia (Iran/Afghan) dan Turki, mereka pernah datang atas undangan Kerajaan Aceh untuk menjadi ulama, pedagang senjata, pelatih prajurit dan serdadu perang kerajaan Aceh, dan saat ini keturunan keturunan mereka kebanyakan tersebar di wilayah Aceh Besar. Hingga saat ini bangsa Aceh sangat menyukai nama-nama warisan Persia dan Turki. Bahkan sebutan Banda, dalam nama kota Banda Aceh pun adalah warisan bangsa Persia (Bandar arti: pelabuhan).
Di samping itu ada pula keturunan bangsa Portugis, di wilayah Kuala Daya, Lam No (pesisir barat Aceh). Mereka adalah keturunan dari pelaut-pelaut Portugis di bawah pimpinan nakhoda Kapten Pinto, yang berlayar hendak menuju Malaka (Malaysia), dan sempat singgah dan berdagang di wilayah Lam No, dan sebagian besar di antara mereka tetap tinggal dan menetap di Lam No. Sejarah mencatat peristiwa ini terjadi antara tahun 1492-1511, pada saat itu Lam No di bawah kekuasaan kerajaan kecil Lam No, pimpinan Raja Meureuhom Daya. Hingga saat ini masih dapat dilihat keturunan mereka yang masih memiliki profil wajah Eropa yang masih kental.
Tari Seudati adalah nama tarian yang berasal dari provinsi Aceh. Seudati berasal dari kata Syahadat, yang berarti saksi/bersaksi/pengakuan terhadap Tiada Tuhan selain Allah, dan Nabi Muhammad utusan Allah.
Tarian ini juga termasuk kategori Tribal War Dance atau Tari Perang, yang mana syairnya selalu membangkitkan semangat pemuda Aceh untuk bangkit dan melawan penjajahan. Oleh sebab itu tarian ini sempat dilarang pada zaman penjajahan Belanda, tetapi sekarang tarian ini diperbolehkan kembali dan menjadi Kesenian Nasional Indonesia.

Artikel bertopik tarian di Indonesia ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat membantu Wikipedia dengan mengembangkannya.
Bahasa Aceh
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Ini adalah versi yang telah diperiksa dari halaman initampilkan/sembunyikan detail
Ini adalah versi stabil, diperiksa pada tanggal 9 Januari 2011. Ada 1 perubahan tertunda menunggu peninjauan.
Akurasi
Terperiksa
Langsung ke: navigasi, cari
Bahasa Aceh
Bahsa/Basa Acèh
Dituturkan di

Daerah
wilayah pesisir Aceh
Jumlah penutur
3.500.000 (2000) [1]
·         Melayu-Polinesia (MP)
o    MP Inti
§  Aceh-Cam
§  Bahasa Aceh
Kode-kode bahasa
Tidak ada
Bahasa Aceh adalah bagian dari rumpun bahasa Austronesia. Bahasa ini dituturkan di Aceh, dominan di sebagian besar wilayah pesisir ujung utara Sumatera. Bahasa Aceh memiliki hubungan erat dengan kelompok bahasa Cam di Kamboja dan Vietnam.

Literatur

Sampai saat ini manuskrip berbahasa Aceh tertua yang dapat ditemukan berasal dari tahun 1069 H (1658/1659 M) yaitu Hikayat Seuma'un[2].
Sebelum penjajahan Belanda (1873 - 1942), hampir semua literatur berbahasa Aceh berbentuk puisi yang dikenal dengan hikayat. Sedikit sekali yang berbentuk prosa dan salah satunya adalah Kitab Bakeu Meunan yang merupakan terjemahan kitab Qawaa'id al-Islaam[3].
Setelah kedatangan Belanda barulah muncul karya tulis berbahasa Aceh dalam bentuk prosa yaitu pada tahun 1930-an, seperti Lhee Saboh Nang yang ditulis oleh Aboe Bakar dan De Vries[4]. Setelah itu barulah bermunculan berbagai karya tulis berbentuk prosa namun demikian masih tetap didominasi oleh karya tulis berbentuk hikayat.

[sunting] Fonologi

Berikut adalah fonem-fonem bahasa Aceh.
Vokal[5]



mulut
mulut
mulut

i
Ä©
ɨ
ɨ̃
u
Å©

e
É›̃
É™
ÊŒ̃
o
É”̃

É›
ʌ
É”



a
ã



Vokal biasanya berada di pasangan mulut/sengau, meskipun hanya ada tiga vokal sengau pertengahan dan ada vokal oral pertengahan yang jumlahnya dua kali lebih banyak. /ʌ/ tidak benar-benar di tengah, meskipun ditampilkan di sini karena alasan estetika. Demikian pula, /ɨ/ juga ditampilkan sebagai ([ɯ] yang lebih ke belakang.[rujukan?] Selain vokal monoftong di atas, bahasa Aceh juga memiliki 5 diftong oral, masing-masing dengan pasangan sengau:[6]
  • /iÉ™ ɨə uÉ™ ɛə ɔə/
  • /Ä©É™ ɨ̃É™ Å©É™ É›̃É™ É”̃É™/
Konsonan[7]

m
n
ɲ
Å‹

p b
t d
c ÉŸ
k g
Ê”

s
ʃ

h
w
l
j



r



/s/ adalah alveodental laminal. /ʃ/ secara teknis berupa post-alveolar tapi dikelompokkan dalam kolom langit-langit untuk alasan estetika.

[sunting] Ejaan

http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/thumb/a/ad/Kamus_Bahasa_Aceh_-_Indonesia.jpg/150px-Kamus_Bahasa_Aceh_-_Indonesia.jpg
http://bits.wikimedia.org/skins-1.5/common/images/magnify-clip.png
Kamus bahasa Aceh-Indonesia.
Bahasa Aceh telah mengalami berulang kali perubahan ejaan, mulai penggunaan huruf Arab, huruf Latin ejaan lama, dan sekarang adalah Ejaan Yang Disempurnakan. Berikut adalah pedoman ejaannya:[8][9]
  • Ee ([É™] dengarkan contoh bunyi dibaca seperti huruf /e/ dalam kata "dekat"; contohnya: le (banyak).
  • Èè ([É›] dengarkan contoh bunyi) dibaca seperti huruf /e/ dalam kata "bebek"; contohnya: pèng (uang), pèh (pukul/tumbuk), dll.
  • Éé ([e] dengarkan contoh bunyi) dibaca seperti huruf /e/ dalam kata "kue"; contohnya: lé (oleh).
  • Ëë, tidak ditemui padanannya dalam bahasa Indonesia.
  • Öö ([ÊŒ] dengarkan contoh bunyi) dibaca seperti huruf vokal dasar /É”/, tetapi diucapkan dengan mulut terbuka; contohnya mantöng (masih), böh (buang),
  • Ôô ([o] dengarkan contoh bunyi) dibaca seperti huruf /o/ dalam kata "soto", "foto", "tato"; contohnya: bôh (taruh), sôh (tinju), tôh (mengeluarkan).
  • Oo ([É”] dengarkan contoh bunyi) dibaca seperti huruf /o/ dalam kata "tolong", "bom"; contohnya: boh (buah), soh (kosong), toh (mana)
Huruf vokal sengau:
  • 'A 'a pengucapannya sengau seperti /a/ dalam kata “maaf”; contohnya: 'ap (suap), meu'ah (maaf)
  • 'I 'i pengucapannya sengau seperti /i/ dalam kata “angin”; contohnya: ca’ië (laba-laba), kh’iëng (busuk), dll
  • 'U 'u pengucapannya sengau; contohnya: meu'uë (bajak),
  • 'È 'è pengucapannya sengau seperti /e/ dalam kata “pamer”; contohnya: pa‘è (tokek), meu‘èn (main)
  • 'O 'o pengucapannya sengau; contohnya: ma’op (hantu/untuk menakuti anak-anak)

[sunting] Contoh

http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/thumb/f/fc/Terjemah_Al-Qur%27an_dalam_Bahasa_Aceh.jpg/150px-Terjemah_Al-Qur%27an_dalam_Bahasa_Aceh.jpg
http://bits.wikimedia.org/skins-1.5/common/images/magnify-clip.png
Terjemahan Al-Qur'an dalam bahasa Aceh.
  • Peue haba? = Apa kabar?
  • Haba gèt = Kabar baik.
  • Lôn piké geutanyoë han meureumpök lé = Saya kira kita takkan bersua lagi.
  • Lôn jép ië u muda = Saya minum air kelapa muda.
  • Agam ngön inöng = pria dan wanita
  • Lôn = saya
  • Kah, droë = kamu, anda
  • H'an = tidak
  • Na = ada
  • Pajôh = makan
  • Jih, dijih, gobnyan = dia, beliau
  • Ceudah that gobnyan. = Tampan sekali dia.
  • Lôn meu'en bhan bak blang thô. = Saya bermain bola di sawah kering.

[sunting] Kepustakaan

  1. ^ Ethnologue
  2. ^ Durie, Mark. 1996. Framing the Acehnese Text: Language Choice and Discourse Structures in Aceh
  3. ^ Hikayat Aceh Telah Mati
  4. ^ Thurgood, Graham.2007.The Historical Place of Acehnese:The Known and the Unknown
  5. ^ Al-Harbi & Al-Ahmadi (2003:10)
  6. ^ Al-Harbi & Al-Ahmadi (2003:10)
  7. ^ Al-Harbi & Al-Ahmadi (2003:9-10)
  8. ^ Ejaan Bahasa Aceh
  9. ^ Standar penulisan bahasa Aceh yang ditetapkan pemerintah Indonesia
10.                        KARAKTERISTIK KEBUDAYAAN ACEH DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KEDAMAIAN HIDUP MASYARAKAT
11.   Fuad Mardhatillah UY. Tiba
12.   *
13.   I. Pengantar: Pentingnya Memahami Suatu Karakter dan Identitas Suatu Etnis
14.    
15.  Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungghunya Allah Maha Mengenal dan Maha Mengetahui. (al-Quran: 49:13)
16.  *
17.   
18.  Ayat di atas, adalah satu petunjuk Allah, menyangkut hal ikhwal alam kodrat manusia dalam urusan bagaimana merajut dan membangun suatu kehidupan bersama baik dalam konteks kehidupan antar individu maupun antar kelompok masyarakat. Lebih tegasnya, disini manusia harus dilihat baik sebagai makhluk yang bersifat individual, yang memiliki egositas (potensi dan kecendrungan untuk lebih mementingkan diri sendiri), bersama sejumlah karakteristik individualnya yang juga saling berbeda antara satu individu dengan individu lain. Maupun sebagai makhluk sosial yang meniscayakan bahwa manusia tidak mungkin hidup sendiri-sendiri, yang maka kemudian melahirkan kehidupan perkelompokkan, yang antara satu kelompok dengan kelompok lain juga saling berbeda.
19.  Dalam ayat tersebut, Tuhan memberi pedoman kepada manusia yang berpikir, bahwa eksistensi makhluk manusia memiliki sifat-sifat, hukum-hukum dan norma-norma yang secara kodrati melekat sebagai suatu keniscayaan universal.
20.  Konsekwensi logisnya, kehidupan manusia yang berkelompok-kelompok itu mensyaratkan perlunya membangun relasi, interaksi, komunikasi, interkoneksi dan jejaringan dan kerjasama, untuk kemudian satu sama lain hendaknya menjadi saling mengenal, mengerti dan memahami, bersama segala bentuk keharusan sosiologis (sociological-must) lainnya, seperti keharusan tolong menolong, berkorban, toleransi dan akomodasi. Karena hal-hal tersebut adalah sangat berperan penting dan berguna dalam membangun dan membina suatu tata kehidupan bersama yang harmonis, saling mengayom dan mendamaikan.
21.  Maka, bahwa sifat eksistensial umat manusia yang niscaya hidup secara berkelompok-kelompok dan satu sama lain memiliki aneka perbedaannya masing-masing itu, baik secara formal, simbolik, substansial maupun esensial, adalah sesuatu yang sangat penting untuk diperhatikan, dipahami dan disadari sebagai sesuatu yang absah, wajar dan logis-rasional. Perbedaan-perbedaan yang ada dalam dan antar kelompok itu merupakan suatu hasil konstruksi historisitas sosial yang berlangsung secara alamiah, dan terbangun melalui proses-proses rasionalitas, emosionalitas dan spiritualitas tertentu, baik yang tumbuh di dalam kelompoknya masing-masing, maupun saat mereka harus hidup berdampingan dengan berbagai kelompok lain yang ada di sekeliling eksistensinya. Dan secara tak terelakkan semua proses tersebut membentuk perbedaan-perbedaan antar kelompok, yang terus terjadi sepanjang sejarah sejak kelahiran dan hingga terbentuknya kelompok (etnis) itu sendiri. Kemudian semua produk historisitas sosial itulah yang turun temurun diwariskan secara transgenerasional, dari satu generasi ke generasi selanjutnya, sepanjang sejarah eksistensinya.
22.  Dari realitas pengalaman sejarah kehidupan berkelompok yang panjang ini, terbentuklah berbagai unsur alam pikiran dasar yang meliputi: world-view, common sense, kepercayaan, tata-nilai, upacara-upacara dan prinsip-prinsip, system kebudayaan, mitologi, totemisme dan ritual. Semua ini  disepakati, dipercayai, dipegang-teguh dan diyakini secara bersama sebagai kaedah-kaedah  normatif yang mengikat dan mejadi elemen-elemen dasar bagi konstruksi kehidupan bersama kekelompokan mereka. Kaedah-kaedah normative ini, terkadang memiliki tingkat sakralitas tertentu, yang sangat dipengaruhi oleh berbagai ajaran agama, latar filosofi kehidupan dalam menata kehidupan bersama, yang kemudian dianggap agung, dimuliakan dan muncul menjelma ke dalam dan mewarnai pola-pikir dan pola prilaku, yang pada gilirannya menjadi kebiasaan kelompok, adat istiadat dan kebudayaannya. 
23.  Oleh karenanya, faktor-faktor ethnografis yang saling berbeda antar kelompok itulah yang kemudian mengisyaratkan perlunya jalinan hubungan interaksional, yang satu sama lain  harus melakukan aksi-aksi untuk saling “kenal-mengenal,” yang hendaknya selalu dapat berlangsung secara kreatif, inovatif dan produktif dari individu dan antar kelompok yang saling berbeda-beda itu. Disini, konteks interaksi kreatif, inovatif dan produktif itu harus dipahami sebagai suatu kesediaan dan kerelaan, baik antar warga dalam suatu kelompok etnis (ingroup relation), maupun antar kelompok (outgroups relation). Disini, setiap warga dan kelompok harus telah memiliki dan menciptakan serbaneka cara atau jalan untuk mencari tahu secara berkelanjutan, tentang seluk beluk satu sama lain, agar kemudian mereka dapat saling “kenal-mengenal” tentang spesifikasi dan keunikan yang dimiliki masing-masing kelompok, di luar kelompok dirinya sendiri.
24.  Pada dasarnya, kesediaan untuk saling kenal-mengenal ini, hanyalah suatu kegiatan saling belajar dan mempelajari belaka, tentang berbagai keunikan masing-masing kelompok masyarakat etnis atau suku, yang ternyata satu sama lainnya memang berbeda-beda dalam berbagai bentuk perbedaan yang sangat variatif. Dari kegiatan belajar terhadap berbagai bentuk perbedaan itu, diharapkan dapat menciptakan dan menumbuhkan suatu kesadaran imajinatif, dimana setiap pribadi yang terpelajar itu mampu selalu menyiapkan diri untuk bersedia memahami keberadaan orang-orang lain dengan segala bentuk perbedaan yang berbeda dengan dirinya.
25.  Kesadaran semacam itulah yang oleh Elene Scarry disebut spontaneous imaginative, yang secara fungsional digunakan untuk memahami, mengerti dan menghargai keragaman yang terdapat dalam kelompok-kelompok masyarakat. Jika banyak dari warga terpelajar, termasuk para local genius nya suatu kelompok masyarakat, memiliki kapasitas spontaneous imaginative ini, maka dapat dipastikan akan tercipta suatu kesalingan timbal-balik dalam jalinan komunikasi dan interaksi sosial yang konstruktif dalam menyusun, membangun, dan membina suatu kehidupan bersama yang penuh pengertian dan mendamaikan.
26.  Semua pemikiran di atas sungguh merupakan cita-cita ideal kehidupan, yang menjadi hukum kodrat atau natural-law dari makhluk manusia, yang di satu sisi menunjukkan kodrat egosentrisme yang memusatkan segala kesadarannya untuk lebih cendrung pada pementingan diri keakuannya. Darisini menumbuhkan sifat-sifat alamiah manusia yang sangat cinta pada diri sendiri (egoistic).[1]  Namun, di sisi yang lain, manusia juga memiliki dimensi sosiologis bersama dengan segala keharusan altruistiknya, yang juga merupakan kodrat alamiahnya. Dari dua sisi kodrati manusia yang terkesan bertentangan secara diametral ini, terciptalah gaya tarik-menarik yang  cendrung membentuk polarisasi ekstrim antar kedua dorongan kodrati tersebut. Disini,  dorongan egoisme individual tampaknya seringkali mampu membuat berbagai keharusan altruistik itu menjadi terpinggirkan dan bahkan ekstrimnya boleh jadi menjadi terabaikan sama sekali.
27.  Oleh karena itu, dari kecendrungan kepada dorongan egositas individualisme tersebut, membentuk berbagai kesulitan atau hambatan internal-psychologis, baik dalam konteks psychologi individual maupun psychologi komunal (kekelompokan) dalam membangun kesediaan setiap dirinya, untuk selalu berkenan mencoba mempelajari, mengenali, memahami dan menghormati orang lain, dan/atau lebih luasnya kelompok lain (respect for others). Dalam lingkaran kesadaran yang lebih luas, kecendrungan egositas itu berakumulasi menjadi kesadaran kelompok, dan selanjutnya menjadi kesadaran ethnografis dari suatu kelompok rumpun etnis/bangsa.[2]
28.  Ketika perihal hakikat jati-diri manusia seperti yang telah diutarakan di atas dihubungkan dengan terjadinya berbagai konflik, pertikaian dan bahkan permusuhan umat manusia, maka faktor-faktor dan elemen-elemen kodrati dari eksistensi manusia itu perlu dan penting untuk dicermati, ditelusuri, diteliti, dipelajari, dipahami dan dihargai sedemikian rupa, baik dalam konteks hubungan seseorang dengan dirinya sendiri, maupun dengan konteks kelembagaan kelompoknya (ingroup) dan dengan konteks orang-orang di luar kelompoknya (outgroup).
29.  Sebaliknya, dapat diyakini pula, bahwa harmoni yang misalnya terbangun dalam kehidupan suatu kelompok masyarakat, itu juga semestinya dipahami sebagai adanya seperangkat world-view atau common sense yang berlaku dan mengikat komitmen mereka dalam kebersamaan. Inilah yang secara historis diturunkan untuk diterima, diwarisi, dipegang teguh secara bersama oleh setiap warga suatu kelompok masyarakat sebagai tata-nilai, karakter, sifat dan adat-istiadat. Dan kemudian digunakan sebagai patron dalam membina suatu kelembagaan kehidupan bersama dalam kelompok masyarakatnya.
30.  Sementara adanya suatu harmoni dan kedamaian hidup berdampingan dengan kelompok-kelompok lain yang ada di sekelilingnya, adalah juga hasil yang diperoleh setelah mereka satu sama lainnya saling mampu menghargai world view mereka masing-masing, bersama seluruh turunan rasional dan irrasionalnya, seperti system mitos dan tabu. Maka dari situ tumbuh semacam kesepahaman yang dapat secara bersama dirumuskan menjadi tata-nilai, prinsip dan cita-cita universal, seperti keadilan dan kesejahteraan, dalam konteks kehidupan bersama antara kelompok masyarakat.
31.  Maka dapatlah disimpulkan bahwa keharmonisan hidup umat manusia yang memiliki sifat-sifat individual dan social, selalu sangat ditentukan oleh sejauhmana setiap individu, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, mampu menempatkan kepentingan individualnya secara tepat, seimbang dan tidak berlebihan serta sebanding dengan keharusan mempertimbangkan kepentingan orang-orang lain atau kelompok-kelompok lain.[3]
32.   
33.   II. Metodologi dan Pendekatan dalam Memahami Karakter dan Identitas.
34.    
35.                   Sebelum memahami “karakter” dan “identitas” suatu kaum, kiranya perlu lebih dulu dijelaskan apa batasan pengertian (definisi) yang sebenarnya terkandung dalam ke dua kosa-kata tersebut. Sehingga jelas apa focus dan objek yang ingin dicermati dalam konteks kehidupan kolektif perkauman (etnis), baik secara personal maupun komunal. Dalam hal ini, karakter dan identitas yang ingin ditelusuri itu, adalah sangat berhubungan dengan persoalan bingkai pola-nilai yang menyifati dan menandai keberadaan suatu kaum, dalam segala aktivitas dan aktualitas kehidupannya yang multi aspek. Ini berarti bahwa, ketika  seseorang berada di tengah orang-orang lain (ingroup maupun outgroup), baik secara sadar maupun tak-sadar, semua ucapan dan tindakannya selalu berlangsung bersama segala simbol dan substansinya, yang secara kolektif mencirikan sifat dan tanda keberadaannya. Dengan demikian, sifat dan ciri yang dimiliki bersama itu berlangsunglah  proses identifikasi diri, bersama interpretasi dan interaksi seseorang sebagai anggota dari suatu kaum atau kelompok masyarakat, dalam menanggapi dan bertindak, dimana di dalamnya terdapat unsur-unsur yang secara kolektif menjadi pengikat dan pemersatunya.[4]
36.                   Jadi batasan pengertian dari apa yang kita pahami dan sebut sebagai karakter adalah, sifat-sifat atau watak-watak yang secara historis dimiliki para warga suatu kaum. Sifat dan watak ini, pada awalnya tidak terbentuk begitu saja, tetapi merupakan hasil yang terbentuk setelah adanya pertimbangan-pertimbangan dan proses-proses rasionalitas betapapun dangkalnya. Maka barangkali lebih banyak dipengaruhi oleh  emosionalitas dan imagi-imagi yang secara intriksik melekat dalam keinginan “ego-kolektif” suatu kaum. Ini semua lantas membentuk semacam basic personality structure,[5] dan kemudian diwariskan secara transgenerasional.
37.                   Sifat dan watak yang terlahir dan terbentuk dari pertimbangan dan proses-proses rasionalitas, emosionalitas dan imagi-imagi ini, secara dominan kembali mempengaruhi pola-pikir dan pola manifestasinya dalam peri-laku individu-individu dalam menyikapi berbagai suasana dan problema hidup sehari-hari, dyang berjalan dalam rentangan sejarah eksistensinya yang panjang, sehingga lepas dari segala kesadaran awal saat ia terbentuk dulu. Maka para warga suatu kaum yang datang kemudian tidak lagi merasa perlu mengkritisinya, namun dipakai begitu saja  baik dalam konteks dirinya sendiri sebagai individu, maupun dalam konteks sebagai warga dari perkaumannya (etnis).
38.                   Dengan adanya konsep pemahaman sifat dan watak individual para warga dari suatu kaum seperti itulah, menuntut para outsiders untuk berkenan memberikan pertimbagan, pengertian dan penghargaannya. Karena ini merupakan hasil konstruksi sosial alamiah, yang boleh jadi juga rasional, adalah salah satu faktor penting yang perlu dimiliki dan dihayati lebih dulu, ketika suatu konstruksi kehidupan bersama secara berdampingan dari berbagai etnis  ingin dibangun. Meskipun kita menyadari, ada berbagai kesulitan yang dimiliki para outsiders untuk membayangkannya dan sekaligus bersedia mempertimbangkan. Khususnya ketika para outsiders merasa memiliki kekuasaan, dimana ia kemudian berkeinginan membangun hegemoni  atas keberadaan kelompok-kelompok lain yang ingin dikuasai.
39.                   Untuk menjelajahi dan lantas memahaminya, berbagai karakter dan identitas etnografis keacehan dapat digunakan pendekatan semiotika bahasa yang perlambangannya tersusun dalam berbagai proverb atau dalam ungkapan lokal disebut Hadih Madja yang telah eksis sejak ratusan lalu dan hingga kini masih diakui oleh masyarakat Aceh sebagai sesuatu yang wajar atau benar.  Hadih Madja ini adalah suatu ungkapan padat dan singkat yang mengandung kebenaran umum atau pembenaran yang memiliki filosofi hidup tersendiri, yang lahir dari suatu kesadaran tentang suatu aspek kehidupan, setelah berlangsung dalam rentangan sejarah yang panjang. Sehingga semua ungkapan itu tidak lagi dimungkinkan untuk diketahui siapa sesungguh penggagas dan pengucap pertamanya. Namun, secara etnografis, hadith madja ini telah diterima masyarakat Aceh sebagai sebuah kebenaran dan pembenaran yang muatan dan isinya dapat memberi gambaran tentang karakter dan identitas etnis Aceh. Jadi kandungannya dapat dipahami sebagai sebuah warisan yang diturunkan secara turun temurun, meskipun untuk sebagiannya, pada hari ini barangkali, sudah tidak lagi diterima sebagai kebenaran yang perlu dipertahankan.
40.                   Tetapi secara umum, banyak dari Hadih Madja ini yang masih sangat diterima oleh masyarakat Aceh sebagai diktum aksiomatik, yang seringkali memberi justifikasi terhadap prilaku budaya, meskipun terkadang sangat tidak rasional, atau sangat emosional, namun cukup dipandang wajar.
41.    

42.III. Hubungan Timbal-Balik antara Karakter/Identitas dan Perdamaian

43.    
44.                   Jika karakter yang menjadi identitas budaya suatu etnis itu ditelusuri implikasi nya terhadap penciptaan suasana kehidupan bermasyarakat, tentu akan memperlihat suatu hubungan timbal-balik dan kausalitas yang amat dekat dan potensial, baik bagi membangun masyarakat yang damai ataupun sebaliknya yang merusak perdamaian. Sebut saja misalnya sikap keras yang muncul dalam sikap-sikap yang militan dan ekstrim (ni bak sihet, leubeh got roe, ni bak puteh mata leubeh got puteh tuleung, dll) yang jika dihubungkan dengan cara-cara menyelesaikan konflik yang sering muncul dalam masyarakat, tentu saja kekerasan kemudian cendrung digunakan dalam upaya menyelesaikan pertikaian. Ini tentu saja besar pengaruhnya bagi rusaknya suasana hidup yang aman dan damai. Demikian pula, karakter budaya yang suka berterus-terang, atau blak-blakan yang terkadang dapat pula membuat situasi menjadi tegang dan bermusuhan.
45.                   Akan tetapi, dalam budaya Aceh, sebenarnya juga telah ada suatu mekanisme penyelesaian konflik dengan menggunakan kearifan lokal sebagai jalan penyelesaian-nya. Dengan metoda ini, kebijakan lokal menggunakan mekanisme pengakuan bersalah dan pembayaran konpensasi sebagai jalan untuk meniadakan permusuhan yang berkelanjutan antara para pihak yang bertikai. Terlihat disini, bahwa di satu pihak terdapat budaya kekerasan dalam masyarakat, namun di pihak lain terdapat kearifan local yang coba menengahi pertikaian masyarakat yang secara tradisional telah diterima masyarakat tempo dulu sebagai suatu dispute settlement.
46.                   Jadi dapatlah disimpulkan disini, bahwa ada sejumlah karakter budaya Aceh yang punya potensi untuk merusak suasana damai dalam suatu hubungan pergaulan, disaat satu sama lain tidak cukup paham karakter kebudayaan dari masing-masing pihak dan tidak arif dalam mencari penyelesaian.  
47.    
48.   III. Wali Nanggroe: Sebuah Alternatif Pemersatu
49.                  
50.                   Melihat pada konteks raison d’etre sebagai landasan keinginan masyarakat Aceh terhadap institusi Wali Nanggroe, seperti yang tersebut dalam UUPA (pasal 96, ayat 1), agaknya ada kebutuhan masyarakat Aceh tentang perlunya lembaga yang berfungsi sebagai penjaga adat-istiadat, nilai-nilai luhur kebudayaan dan sekaligus berfungsi sebagai lembaga pemersatu masyarakat. Padahal dalam sejarah Aceh agaknya belum pernah dikenal adanya  lembaga semacam Wali Nanggroe ini. Yang pernah ada adalah lembaga Qadhi Malikul Adil yang fungsinya lebih sebagai lembaga Yudikatif yang punya wewenang untuk mendelegitimasi keputusan-keputusan politik eksekutif (Sulthan).
51.   Akan tetapi, lembaga Wali Nanggroe ini dipandang perlu keberadaannya sekarang, setelah dirasakan adanya semacam ancaman memudar, melemah dan bahkan cebdrung menghilangnya berbagai kekayaan adat dan budaya Aceh di tengah budaya masyarakat Aceh hari ini, yang juga dirasa tidak menyenangkan. Maka persoalannya adalah, sejauh mana fungsi lembaga wali nanggroe dapat pula menjadi sebuah kekuatan yang berfungsi sebagai perekat persatuan masyarakat Aceh dan sekaligus menjadi penjaga perdamaian?  
52.    
53.    
54.    
55.    
56.    
57.    
58.    
59.    
60.    
61.    

62.                Suggested Blbliograpy

63.    
64.   Amin, S.M., Sekitar Peristiwa Berdarah di Atjeh, (Jakarta: Soerongan, 1956).
65.   Bernard, H. Russel, Handbook of Methods in Cultural Anthropology, (California: Altamira Press, 1998).
66.   Carmejoole, P.J., Atjeh, Groningen, 1931
67.   Coakley, John, The Territorial Management of Ethnic Conflict, (London: Frank Cass and Co. Ltd., 1993).
68.   Comaroff, Jean, Ethnography and the Historical Imagination, (Oxford, San Fransisco: Westview Press, 1992).
69.   Flynn, Pierce J., The Ethnomethodological Movement, Sociosemiotic Interpre-tations, (New York: Walter de Gruyter & Co, 1991).  
70.   Forbes, H.D., Ethnic Conflict: Commerce, Culture, and the Contact Hypo-thesis, (New Haven, London: Yale University Press, 1997).
71.   Fukuyama, Francis, The End of History and the Last Man, (New York: the Free Press, 1992).
72.   Gellner, Ernest, Nations and Nationalism, (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1983).
73.   Ra’anan, Uri, et.al., (eds.), State and Nation in Multi-ethnic Societies, (New York: Manchester University Press, 1991).
74.   Reid, Anthony J.S., The Contest of North Sumatra, (Kuala Lumpur: Univer-sity of  Malaya Press).
75.   Said, Muhammad, Centuries Along with the Acehnese History, (Medan, 1961)
76.   Siddiqi, Mazheruddin, The Qur’anic Concept of History, (Karachi: Central Institute of Islamic Research, 1965).
77.   Stavenhagen, Rudolfo, Ethnic Question: Conflict, Development and Human Rights, (Tokyo: United Nation University Press, 1990).
78.   Tiskov, Valery A., et.al, (eds.), Ethnicity and the Power  in the Contemporary World, (Tokyo: United Nation University Press, 1994).
79.   Weiner, Eugene, The Handbook of Interethnic Coexistence, (New York: Continuum Publishing Company, 1998).
80.   Wicker, Hans-Rudolf, Rethinking Nationalism and Ethnicity, the Struggle for Meaning and Order in Europe, (New York: Berg Publisher, 1997).
81.   Willet, Cynthia, Theorizing Multiculturalism: A Guide to the Current Debate, (Massachusets: Blackwell Publisher, 1998).
82.   Will, Kymlicka, Multicultural Citizenship, (Oxford: Clarendon Press, 1995).
83.   Wuthnow, Robert, et.al., (eds.), Cultural Analysis, (London: Routledge, 1984).
84.   Yinger, J. Milton, Ethnicity: Source of Strength? Source of Conflict?, (New York: State University of New York Press, 1994).




[1]  Secara fenomenologis, bahwa pementingan dan bahkan pengagungan terhadap diri atau kelompok sendiri merupakan bagian dari ketaksadaran manusia yang seringkali mempengaruhi pola-pola nilai dan ideologi seseorang atau dalam lingkup yang lebih luas menjadi kesadaran suatu kelompok masyarakat etnis tertentu ketika ia berpikir, mempertimbangkan dan bereaksi dalam merespon segala sesuatu yang berhubungan dengan orang lain. Untuk kajian fenomenologi terntang ketaksadaran manusia ini, baca misalnya, Alice Kasakoff, “Levi Strauss’ Idea of  Social Unconscious: The Problem of Elementary and Complex Structures in Gitksan Marriage Choice,” dalam Ino Rossi, (ed.),  The Unconscious in Culture, the Structuralism of Claude Levi Strauss in Perspective, (New York: E.P Dutton & Co, Inc, 1974), hal. 143-165.
  
[2] Dalam konteks berbagai kesulitan yang mungkin mucul dalam  membina kesediaan untuk memikirkan orang atau kelompok lain, baik yang orang-orang dikenal (acquaintances) maupun yang tidak dikenal (foreigners) lain, ada deskripsi dan ilustrasi menarik yang penting dibaca dan direnungkan, sebut misalnya buah pikiran Elene Scarry, “The Difficulty of Imagining Other Persons” dalam Eugene Weiner, (ed.),  The Handbook of Interethnic Coexistence, (New York: The Continuum Publishing Company, 1998), hal. 40-62. Kesulitan tersebut potensial untuk kemudian berkembang menjadi dorongan membenci eksistensi kelompok atau orang lain, yang seterusnya dapat memuarakan aneka kekerasan. Untuk mengatasi kemungkinan ekstrim tersebut, ia mengusulkan penting adanya semacam constitutional design, tempat dimana spontaneous imaginative dapat berlangsung dan berkembang, dalam misalnya suatu komunitas masyarakat di suatu negara atau antar negara/bangsa.
[3] Problem ketidak-seimbangan dan tarik-menarik antar kepentingan keakuan dan tuntutan social inilah sering menjadi sumber masalah bagi munculnya suasana ketidak-damaian dalam kehidupan masyarakat, dan dalam konteks kekelompokan antar kelompok untuk dapat hidup berdampingan secara damai dan saling menguntungkan. Untuk mencermati bagaimana sejarah imajinasi komunitas etnis tertentu dalam memahami keberadaan suatu kelompok lain yang ada disekelilingnya, baca misalnya, Comaroff, Jean, Ethnography and the Historical Imagination, (Oxford, San Fransisco: Westview Press, 1992).

[4] Melalui perspektif teori Interaksionisme Simbolis, dapatlah ditegaskan bahwa tindakan sosial merupakan tindakan individu yang lahir dari hasil tafsiran, tanggapan dan peranan seseorang yang sebelumnya telah memiliki warisan pola berpikir dan cara bertindak tertentu yang kiranya sangat sulit untuk dirubah, tanpa adanya suatu pendekatan transformative tertentu yang tepat, yang lebih dulu mampu memahami dan mempertimbangkan unsure-unsur esensial yang terkandung di fdalam pola dan cara yang telah diwariskan itu. Untuk lebih lanjut baca, misalnya, Margaret M. Poloma, (terj.), Sosiologi Kontemporer, (Jogjakarta: Yayasan Solidaritas Gadjah Mada, 1984), hal. 268-278.

[5] Basic Personality Structure merupakan suatu entitas kepribadian yang tersusun dari unsur-unsur karakter dan identitas yang terdapat dalam pikiran setiap warga dari suatu kelompok masyarakat etnis yang kiranya penting untuk dipahami. Namun, pemahaman itu bukan dalam konteks penaklukan, tetapi lebih dalam konteks membangun harmoni, yang dapat menghindarkan kita dari kemungkinan-kemungkinan konflik yang seharusnya tak perlu terjadi. Untuk lebih detilnya, baca misalnya, Philip K. Bock, Continuities in Psychological Anthropology, (San Franscisco: W.H. Freeman Company, 1980), khususnya hal. 85-95.